BAB III
SEJARAH, ONTOLOGI, EPISTEMOLLOGI
DAN AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT
1. Sejarah Filsafat
Filsafat ilmu berasal
dari zaman Yunani
Kuno, di mana filsafat
ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada perkembangannya ternyata ilmu
pengetahuan di abad ke-17
mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri.
Dengan
demikian, dapat dikemukakan bahwa sebelum abad
ke-17 ilmu identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van
Peursen (1985) yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu
merupakan bagian dari
filsafat, sehingga definisi tentang
ilmu bergantung pada sistem
filsafat yang dianut.
Koento
Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu
konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana
“pohon ilmu pengetahuan” telah
tumbuh mekar-bercabang secara subur.
Seiring dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan
dapat dipahami bahwa
para filsuf Yunani Kuno
ternyata telah merintis
tentang pengertian apa itu
filsafat ilmu dan
bagaimana ilmu pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu
pengetahuan menampakkan diri
sebagai masyarakat, sebagai
proses dan sebagai
produk, di mana
kaidah-kaidah ilmu pengetahuan
itu dikatakan oleh
Robert Merton adalah
universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang
terarah (Wibisono, 2009:2).
Filsafat dan
ilmu adalah dua
kata yang saling
terkait, baik secara
substansial maupun historis
karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya
perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangannya, ilmu
terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat,
objek, tujuan dan ukuran yang
berbeda antara disiplin ilmu
yang satu dengan
yang lainnya. Pembahasan filsafat
ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia
untuk lebih kreatif
dan inovatif. Filsafat
ilmu memberikan spirit
bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang
terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun
aksiologi.
Menyadari pentingnya
peran dari filsafat
ilmu dalam konteks
pengetahuan sains maka makalah
ini menyebutkan beberapa
hal tentang bagaiaman proses
fenomena tersebut terjadi, bagaimana hukum
atau teori yang
telah dikemukakan oleh
para ilmuwan, dan
apakah hakikat dari ilmu sains
itu (ontologi, epistimologi dan
aksiologi sains), bagaimana
cara sains menyelesaikan
masalah, dan apa sajakah manfaat sains dalam kehidupan manusia. Hal tersebut akan
dibahas lebih luas dan mendalam dalam makalah ini.
2.
Pengertian
Ontologi
Menurut
bahasa, Ontology berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos =
ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut
istilah, Ontology adalah ilmu yang
membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004).
Menurut
Suriasumantri (1985), Ontology membahas
tentang apa yang
ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin
tahu, atau, dengan
kata lain suatu
pengkajian mengenai teori
tentang “ada”. Telaah ontologis
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
apakah
obyek ilmu yang akan ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut,
dan bagaimana hubungan antara
obyek tadi dengan
daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan.
a)
Ontologi
Sains/Ilmu
Ilmu atau
science secara harfiah
berasal dari kata
Latin scire yang berarti mengetahui.
Karena itu, science dapat
diartikan “situasi” atau fakta mengetahui,
sepadan dengan
pengetahuan (knowledge), yang
merupakan lawan dari
intuisi atau kepercayaan.
Selanjutnya, kata science
mengalami perkembangan dan
perubahan makna menjadi “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasi,kajian, dan percobaan - percobaan yang dilakukan untuk mengetahui
sifat dasar atau prinsip dari apa yang
dikaji.
Dengan demikian,
sains yang berarti
“pengetahuan” berubah menjadi “pengetahuan yang
sistematis yang berasal
dari observasi indrawi.” Perkembangan berikutnya, lingkup
sains hanya terbatas
pada dunia fisik,
sejalan dengan definisi lain tentang sains sebagai “pengetahuan yang
sistematis tentang alam dan dunia fisik ”.
Dengan
mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris, baik berhubungan dengan
benda-benda fisik, kimia, biologi, dan astronomi maupun berhubungan dengan psikologi dan
sosiologi. Inilah karakter
sains yang paling
mendasar dalam pandangan epistemologi konvensional. Sains
merupakan produk eksperimen yang bersifat empiris. Eksperimen dapat
dilakukan, baik terhadap benda - benda
mati (anorganik) maupun makhluk hidup
sejauh hasil eksperimen
dapat diobservasi secara indrawi.
Eksperimen pun dapat dilakukan
terhadap manusia, seperti yang
dilakukan Waston dan
penganut aliran behaviorisme klasik lainnya.
3.
Pengertian
Epistemologi
Secara
etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata
dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan, sedangkan
logos lazim dipakai
untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi dapat diartikan
sebagai pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Epistemologi atau
teori pengetahuan ialah cabang filsafat
yang berurusan dengan
hakekat dan lingkungan pengetahuan,
pengandaian - pengandaian,
dan dasar - dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki. (Dwi Hamlyn,
History of Epstemology, dalam Amsal Bakhtiar. 2004 : 148).
Epistemologi adalah
pembahasan mengenai metode
yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas
pertanyaan - pertanyaan seperti: bagaimana
proses yang memungkinkan
diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana
prosedurnya? Hal – hal apa yang
harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang
benar? Lalu benar
itu sendiri apa? Kriterianya apa saja? (Idris,
Epistemologi / Filsafat pengetahuan. 2010). Dalam Kamus Webster disebutkan bahwa
epistemologi merupakan “Teori
ilmu pengetahuan (science) yang melakukan
investigasi mengenai asal - usul,
dasar, metode, dan batas - batas
ilmu pengetahuan Mengapa sesuatu disebut ilmu.
Metode - Metode Untuk Memperoleh
Ilmu Pengetahuan
a)
Empirisme
Empirisme adalah
suatu cara/metode dalam
filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke,
bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di
lahirkan akalnya merupakan jenis catatan
yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam
buku catatan itulah dicatat
pengalaman - pengalaman
inderawi.
Menurut Locke,
seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh
dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide - ide yang diperoleh dari
penginderaan serta refleksi yang pertama - pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang akal
sebagai sejenis tempat
penampungan,yang secara pasif
menerima hasil - hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun
rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada
pengalaman - pengalaman inderawi yang pertama - tama, yang dapat
diibaratkan sebagai atom - atom
yang menyusun objek - objek
material. Apa yang
tidak dapat atau
tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan,
atau setidak - tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal - hal yang factual.
b)
Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian
bahwa sumber pengetahuan
terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling - paling dipandang
sebagai sejenis perangsang
bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa
kebenaran dan kesesatan
terletak di dalam ide
kita, dan bukannya di
dalam diri barang
sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan,
maka kebenaran hanya dapat
ada di dalam
pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c)
Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme
adalah Immanuel Kant.
Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu
sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk - bentuk pengalaman dan
disusun secara sistematis
dengan jalan penalaran.
Karena itu kita tidak
pernah mempunyai pengetahuan
tentang barang sesuatu
seperti keadaannya sendiri, melainkan
hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan
tentang gejala (Phenomenon). Bagi
Kant para penganut
empirisme benar bila
berpendapat bahwa semua pengetahuan
didasarkan pada pengalaman - meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi
para penganut rasionalisme juga
benar, karena akal memaksakan bentuk - bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu
serta pengalaman.
4.
Aksiologi
Secara etimologis,
Aksiologi berasal dari
dari bahasa Yunani, axios, yang berarti
nilai, dan logos, yang
berarti teori. Terdapat
banyak pendapat tentang pengertian aksiologi.
Menurut Jujun S.
Suriasumantri aksiologi adalah
teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh. Menurut Kamus Bahasa
Indonesia (1995:19) aksiologi
adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia,
kajian tentang nilai - nilai
khususnya etika. Menurut
Wibisono (dalam Surajiyo,
2009:152) aksiologi adalah
nilai – nilai sebagai tolak ukur
kebenaran, etika dan
moral sebagai dasar
normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
Karena manfaat
ilmu sesungguhnya terasakan
jika ada banyak orang
dapat mengapresiasikan dan menerima
ilmu sebagai suatu
kebaikan kolektif atau untuk kepentingan orang banyak sehingga akan
kembali kebaikan tersebut kepada diri orang yang menemukannya.