Senin, 22 Mei 2017

Sejarah, Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Filsafat

BAB III
SEJARAH, ONTOLOGI, EPISTEMOLLOGI DAN AKSIOLOGI DALAM FILSAFAT
1.      Sejarah Filsafat
Filsafat  ilmu berasal  dari  zaman  Yunani  Kuno,  di  mana  filsafat ilmu lahir karena munculnya sebuah pengetahuan dari Barat. Akan tetapi, pada  perkembangannya ternyata  ilmu  pengetahuan di  abad ke-17 mengalami perpecahan, di mana ilmu dan filsafat berdiri sendiri. 
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa sebelum abad  ke-17 ilmu  identik  dengan filsafat. Pendapat  tersebut  sejalan  dengan pemikiran Van Peursen (1985)  yang mengemukakan bahwa dahulu   ilmu   merupakan   bagian   dari   filsafat, sehingga   definisi  tentang  ilmu bergantung  pada  sistem  filsafat  yang  dianut.
Koento Wibisono menyatakan bahwa filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya  suatu  konfigurasi  dengan  menunjukkan  bagaimana  “pohon  ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur.
Seiring  dengan  berkembangnya  ilmu  pengetahuan  dapat  dipahami    bahwa  para filsuf  Yunani  Kuno  ternyata  telah  merintis  tentang pengertian   apa   itu   filsafat   ilmu   dan   bagaimana   ilmu  pengetahuan itu harus diletakkan? Ilmu pengetahuan menampakkan diri  sebagai  masyarakat,  sebagai  proses  dan  sebagai  produk,  di  mana  kaidah-kaidah  ilmu  pengetahuan  itu  dikatakan  oleh  Robert  Merton  adalah  universalisme, komunalisme, disinterestedness dan skeptisisme yang terarah (Wibisono, 2009:2).
Filsafat  dan  ilmu  adalah  dua  kata  yang  saling  terkait,  baik  secara  substansial  maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangannya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang  membutuhkan  pendekatan,  sifat,  objek,  tujuan  dan  ukuran  yang  berbeda  antara  disiplin ilmu  yang  satu  dengan  yang  lainnya. Pembahasan  filsafat  ilmu  sangat  penting karena  akan mendorong  manusia  untuk  lebih  kreatif  dan  inovatif.  Filsafat  ilmu  memberikan  spirit  bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi.
Menyadari  pentingnya  peran  dari  filsafat  ilmu  dalam  konteks  pengetahuan  sains  maka makalah  ini  menyebutkan  beberapa  hal  tentang bagaiaman  proses  fenomena  tersebut  terjadi, bagaimana  hukum  atau  teori  yang  telah  dikemukakan  oleh  para  ilmuwan,  dan  apakah hakikat dari   ilmu   sains   itu  (ontologi,   epistimologi   dan   aksiologi   sains),   bagaimana   cara   sains menyelesaikan masalah, dan apa sajakah manfaat sains dalam kehidupan manusia. Hal tersebut akan dibahas lebih luas dan mendalam dalam makalah ini.
2.      Pengertian Ontologi
Menurut bahasa, Ontology berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
Menurut istilah, Ontology adalah   ilmu   yang   membahas   tentang   hakikat   yang   ada,   yang merupakan ultimate    reality baik    yang    berbentuk   jasmani/konkret    maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004).
Menurut Suriasumantri (1985), Ontology membahas  tentang  apa  yang  ingin  kita  ketahui,  seberapa  jauh  kita ingin  tahu,  atau,  dengan  kata  lain  suatu  pengkajian  mengenai  teori  tentang  “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan bagaimana  hubungan  antara  obyek  tadi  dengan  daya tangkap  manusia  (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
a)      Ontologi Sains/Ilmu
Ilmu  atau  science  secara  harfiah  berasal  dari  kata  Latin scire yang  berarti  mengetahui.  Karena  itu, science  dapat  diartikan  “situasi” atau  fakta mengetahui,
sepadan  dengan  pengetahuan  (knowledge),  yang  merupakan  lawan  dari  intuisi atau kepercayaan.   Selanjutnya,   kata   science   mengalami   perkembangan   dan  perubahan makna menjadi “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi,kajian, dan percobaan - percobaan yang dilakukan untuk mengetahui sifat dasar atau prinsip dari apa yang  dikaji.
Dengan  demikian,  sains  yang  berarti  “pengetahuan”  berubah  menjadi “pengetahuan  yang  sistematis  yang  berasal  dari  observasi  indrawi.” Perkembangan berikutnya,  lingkup  sains  hanya  terbatas  pada  dunia  fisik,  sejalan dengan  definisi  lain tentang sains sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik ”.
Dengan mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris, baik berhubungan dengan benda-benda fisik, kimia, biologi, dan astronomi maupun berhubungan dengan psikologi  dan  sosiologi.  Inilah  karakter  sains  yang  paling  mendasar  dalam  pandangan epistemologi konvensional. Sains merupakan produk eksperimen yang bersifat empiris. Eksperimen  dapat  dilakukan, baik  terhadap  benda - benda  mati  (anorganik)  maupun makhluk  hidup  sejauh  hasil  eksperimen  dapat diobservasi  secara  indrawi.  Eksperimen pun  dapat  dilakukan  terhadap  manusia, seperti  yang  dilakukan  Waston  dan  penganut aliran behaviorisme klasik lainnya.
3.      Pengertian Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan,   sedangkan   logos   lazim   dipakai   untuk   menunjukkan   adanya pengetahuan sistematik.  Dengan demikian epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan   sistematik   mengenai   pengetahuan.   Epistemologi   atau   teori pengetahuan   ialah cabang   filsafat   yang   berurusan   dengan   hakekat   dan lingkungan  pengetahuan,  pengandaian - pengandaian,  dan  dasar - dasarnya  serta pertanggungjawaban   atas  pernyataan  mengenai  pengetahuan   yang  dimiliki. (Dwi Hamlyn, History of Epstemology, dalam Amsal Bakhtiar. 2004 : 148).
Epistemologi  adalah  pembahasan  mengenai  metode  yang  digunakan untuk    mendapatkan    pengetahuan.    Epistemologi    membahas    pertanyaan - pertanyaan  seperti:  bagaimana  proses  yang  memungkinkan  diperolehnya  suatu pengetahuan?  Bagaimana  prosedurnya?  Hal – hal apa  yang  harus  diperhatikan agar  kita  mendapatkan  pengetahuan  yang  benar?  Lalu  benar  itu  sendiri  apa? Kriterianya apa saja? (Idris, Epistemologi / Filsafat pengetahuan. 2010). Dalam Kamus Webster disebutkan  bahwa  epistemologi  merupakan  “Teori  ilmu pengetahuan  (science) yang  melakukan  investigasi  mengenai  asal - usul,  dasar, metode, dan batas - batas  ilmu pengetahuan Mengapa sesuatu disebut ilmu.
Metode - Metode Untuk Memperoleh Ilmu Pengetahuan
a)      Empirisme
            Empirisme  adalah  suatu  cara/metode  dalam  filsafat  yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman. John  Locke,  bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan  jenis  catatan  yang  kosong  (tabula  rasa),dan  di  dalam  buku  catatan itulah  dicatat  pengalaman - pengalaman  inderawi. 
            Menurut  Locke,  seluruh  sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta memperbandingkan ide - ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama - pertama dan sederhana tersebut. Ia memandang  akal  sebagai  sejenis  tempat  penampungan,yang  secara pasif menerima hasil - hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita  betapapun  rumitnya  dapat  dilacak  kembali  sampai  kepada  pengalaman - pengalaman inderawi yang pertama - tama, yang dapat diibaratkan sebagai atom - atom  yang  menyusun  objek - objek  material.  Apa  yang  tidak  dapat  atau  tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak - tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal - hal yang factual.    
b)     Rasionalisme
            Rasionalisme  berpendirian  bahwa  sumber  pengetahuan  terletak  pada akal.  Bukan karena  rasionalisme  mengingkari  nilai  pengalaman,  melainkan pengalaman  paling - paling  dipandang  sebagai  sejenis  perangsang  bagi  pikiran. Para  penganut  rasionalisme  yakin  bahwa  kebenaran  dan  kesesatan  terletak  di dalam  ide  kita, dan  bukannya  di  dalam  diri  barang  sesuatu.  Jika  kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan,  maka kebenaran  hanya  dapat  ada  di  dalam  pikiran  kita  dan  hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c)      Fenomenalisme
            Bapak  Fenomenalisme  adalah  Immanuel  Kant.  Kant  membuat  uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk - bentuk pengalaman  dan  disusun  secara  sistematis  dengan  jalan  penalaran.  Karena  itu kita   tidak   pernah   mempunyai   pengetahuan   tentang   barang   sesuatu   seperti keadaannya  sendiri,  melainkan  hanya  tentang  sesuatu  seperti  yang  menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi  Kant  para  penganut  empirisme  benar  bila  berpendapat  bahwa semua  pengetahuan  didasarkan  pada  pengalaman - meskipun  benar  hanya  untuk sebagian.    Tetapi    para    penganut    rasionalisme   juga    benar,    karena    akal memaksakan    bentuk - bentuknya    sendiri    terhadap   barang    sesuatu    serta pengalaman.
4.      Aksiologi
            Secara  etimologis,  Aksiologi  berasal  dari  dari  bahasa  Yunani, axios,  yang berarti  nilai,  dan logos,  yang  berarti  teori.  Terdapat  banyak  pendapat  tentang pengertian  aksiologi.  Menurut  Jujun  S.  Suriasumantri  aksiologi  adalah  teori  nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh. Menurut  Kamus Bahasa  Indonesia  (1995:19)  aksiologi  adalah  kegunaan ilmu  pengetahuan  bagi  kehidupan  manusia,  kajian  tentang  nilai - nilai  khususnya etika. Menurut  Wibisono  (dalam  Surajiyo,  2009:152)  aksiologi  adalah  nilai – nilai sebagai  tolak  ukur  kebenaran,  etika  dan  moral  sebagai  dasar  normative  penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
            Karena  manfaat  ilmu  sesungguhnya  terasakan  jika  ada  banyak orang  dapat mengapresiasikan  dan  menerima  ilmu  sebagai  suatu  kebaikan kolektif atau untuk kepentingan orang banyak sehingga akan kembali kebaikan tersebut kepada diri orang yang menemukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar